Label

Minggu, 13 Juni 2010

JEAN BAUDRILLARD

Menurut Jean Baudrillard, kematian ada ketika masyarakat (misalnya Gereja dan negara) mendikripsikan yang mati.

(Gambar) Pada masyarakat primitif sekarat dab mati adalah bagian dari masyarkat, mereka terlibat dalam proses pertukaran simbolis. Pertukaran simbolok biasanya diadakan pertukaran pesta ritual sosial.

Masyarakat kita tidak normal: ”Setiap kultur yang lain memahami bahwa kematian mulai sebelum kematian, bahwa kehidupan lenyap setelah kehdupan, dan adalah mustahil membedakan kehidupandari kematian”

Baudlard juga mengaitkan pencampakan kemtian dengan Kapitalisme karena: Masyarakat komunis dituduh berusaha menghapus kematian. Masyarakat kapitalisme dihantui oleh kematian maka dari itu mengalihkan perhatian pada akumulasi uang dan barang.

Mati merupakan ”simulakra”: Berhubungan dengan yan mati, kita menjadikan yang mati hidup melalui cara seni penguburan.

Jean Baudrillard (Reims, 20 Juni 1929–Paris, 6 Maret 2007) adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal Perancis. Karya Baudrillard seringkali dikaitkan dengan pascamodernisme dan pascastrukturialisme
.
Baudrillard lahir dalam keluarga miskin di Reims pada 20 Juni 1929.[1] Ia mempelajari bahasa Jerman di Universitas Sorbonne di Paris dan mengajar bahasa Jerman di sebuah lycée (1958-1966). Ia juga pernah menjadi penerjemah dan terus melanjutkan studinya dalam bidang filsafat dan sosiologi. Pada tahun 1966 ia menyelesaikan tesis Ph.D-nya Le Système des objets ("Sistem Objek-objek") di bawah arahan Henri Lefebvre. Dari tahun 1966 hingga 1972 ia bekerja sebagai Asisten Profesor dan Profesor. Pada tahun 1972 ia menyelesaikan habilitasinya L'Autre par lui-même dan mulai mengajar sosiologi di Université de Paris-X Nanterre sebagai profesor.

Dari tahun 1986 hingga 1990 Baudrillard menjabat sebagai Direktur Ilmiah di IRIS (Institut de Recherche et d'Information Socio-Économique) di Université de Paris-IX Dauphine. Ia tetap memberikan dukungannya bagi Institut de Recherche sur l'Innovation Sociale di Centre National de la Recherche Scientifique dan merupakan seorang Satrap di Collège de 'Pataphysique hingga meninggal dunia.


Konsep baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas.

Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati (pure simulacrum), dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, atau it is its own pure simulacrum." Dalam hal ini, salinan dan asli, duplikasi dan orisinal, model dan referensi adalah objek atau entitas yang sama. Hanya simulakrum sejati seperti ini yang merupakan bagian dari apa yang disebut Baudrillard hiperealitas. http://www.bookoopedia.com/daftar-buku/pid-8264/tamasya-dalam-hiperealitas.html

Baudrillard secara lebih tegas dan eksplisit membedakan representasi dan simulasi sebagai konsep yang bertentangan secara diametrikal. Baginya, simulasi kebalikan dari representasi. Dan, disebabkan dunia hiperealitas adalah produk sejati dari simulasi, maka representasi bukan merupakan prinsip pembentuk dunia hiperealitas. Sebagaimana yang secara tegas dikatakannya, sesuatu itu dikatakan simulasi, selama ia berlawanan dengan representasi. Bila representasi masih menggantungkan diri pada sesuatu di luar dirinya sebagai rujukan atau referensinya; simulasi, sebaliknya, tidak merujuk pada sesuatu di luar dirinya, malahan ia menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi. Tampak di sini, pengertian hiperealitas Baudrillard jauh lebih radikal


Jean Baudrillard di buku In the Shadow of the Silent Majorities (1 983), media (televisi) memproduksi semacam realitas kedua (second reality) yang mempunyai logikanya sendiri, dan pada titik tertentu dapat menetralisir bahkan membunuh realitas sosial politik di dunia nyata, serta menggiringnya kepada kematian sosial dan politik (the death of the socian. Dan hiduplah simulasi sosial dan politik http://cybertainment.cbn.net.id/cbprtl/cybertainment/detail.aspx?x=Showbiz+News&y=cybertainment|0|0|2|987.



Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.
“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang mereka junjung tinggi.
http://aprillins.com/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/


Banyak sekali permasalahn-permasalan dihadapi oleh Sosiologi sebagai Ilmu yang ingin intens memperhatikan masalah-masalah masyarakat ini, dimana kondisi Posmodernism yang masih menimbulkan kontrafersi diantara pemikir-pemikirnya dan juga pemikirannya, menjadi sebuah batu sandungan bagi Sosiologi yang masih menganut pada universalitas ilmu pengetahuan dan juga sistemmatika ilmu pengetahuan. Barry Smart yang menaggapi sosiologi posmodernism sebagi kenyataan-kenyatan yang sudah penuh rekayasa (simulacrum) yang seperti disampaikan oleh Budrillard, dan seperti apa saja yang telah disampaikan oleh Foucault dan juga Lyotard.
Cara lain yang masih berkaitan untuk memahami kesulitan masa kini adalah dengan mengakui apa yang ditemui dalam perdebatan seputar kemungkinan adanya perbedaan modernitas dan posmodernitas adalah relasi dan tujuan dan nilai yang merupakan inti peradaban”Eropa”Barat tidak bisa dianggap universal, dan proyek modernitas yang terkait belum berahir karena penyelesaiannya tidak bisa dipahami dan nilainya dipersoalkan.
Tema tentang krisis Sosiologi posmodernism dinyatakan oleh Bauman yang tidak bisa ditangani secara pasti dengan strtegi ’bisnis sebagi hal yang biasa’, karena permainan dan pembeliannya telah berubah. Dengan mengikuti pembedaan Habermas antara bentuk-bentuk empiris analitis interpretatif dan kritis, Bauman menggariskan Posmodernism dalam tiga bentuk Sosiologi. Bagi sosiologi empiris, kebutuhan obyektif harus berupa pencarian ‘aplikasi sosial baru dari kemampuannya… atau kemampuan baru’ untuk melawan tatananyang melemah dari negara demi’pengetahuan menerjemahkan sosial’.kategori kedua sosiologi Interpretatif, mengambil dua bentuk, satu diantaranya tetap memelihara hubungan sosial yang ditujukan untuk memperkaya tradisi manusia itu sendiri dengan memberikan bentuk-bentuk ‘asing’ dan yang terpadu, sebuah produk yang dinyatakan oleh Bauman memungkinkan konsumen untuk tetap ada. Varian kedua dari sosiologi interpretatif dikemukakan sebagai pemahaman terhadap nilai-nilai kebutuhan, menurunya permintaan sosial terhadap sosiologi yang menyediakan kesempatan bagi, dan legitimasi dari, kembalinya memahami kepentingan bagi diri sendiri dari setiapmorang. Bentuk terakhir adalah sosiologi posmodernism yang tetapmempertahankan paham hubungan sosialdan berupaya untuk menjadikan ”yang kabur menjadi jelas’, sebuah stategi dimana dengan adanya kemunduran Negara dan wilayah tersebut secara efektif menjadi wacana sosiologis sebagai kekuatan yang mempunyai potensi kritis dan/atau subversi, ini merupakan ciri umum dari sosiologi emansipatoris. Namun demikian, berbeda dengan upaya emansipatoris Habermas mengenai proyek abadi modernism. Bauman melihat bahwa analisis sosiologi tentang posmodernism yang berupaya untuk yang berupaya mempertahankan dan ambisi modernism, harus mengakui bahwa strateginya didasarkan padanilai, asumsi,dan tujuan, bukan hukum, fondasi dan dasar-dasar. Munculnya tradisi nilai teoritisbersamaan dengantradisi di atas epistemologis yang terus dikritik menimbukkan sejumlah pertanyaan.
http://narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/carut-marut-postmodernism/


estetika postmodern, lebih jauh menurut Baudrillard, kini tak lebih
sebagai sebuah wacana, di mana realitas telah kehilangan dimensi
rahasianya; sebatang tubuh telah kehilangan dimensi seksualnya: sebuah
informasi telah kehilangan dimensi maknanya; dan sebuah karya seni telah
kehilangan dimensi auranya. Segala wacana termasuk wacana seni kini
tengah berupaya mencari jalannya sendiri-sendiri untuk menghindarkan diri
dari dialektika makna, dari dialektika komunikasi dan proses sosialisasi.

Inilah
dunia hiperrealitas dalam terminologi Baudrillard, sebuah dunia buatan yang
justru lebih nyata dan real dibanding realitas yang sebenarnya
(Baudrillard, 1988: 22).
Dunia postmodern,
papar Baudrillard, adalah dunia tanpa makna, dimana teori-teori
berlalu-lalang dalam ruang hampa, tanpa ada titik sauh apa pun, dimana
segala sesuatu nampak jelas, eksplisit dan transparan, namun sangat tidak
stabil

Kematian bukanlah apa-apa. Yang perlu kau tahu adalah bagaimana cara untuk
menghilang. Pencapaian tertinggi adalah untuk hidup setelah akhir
segalanya, dengan cara apa saja. Hidup adalah segalanya. Yang perlu kau
tahu adalah bagaimana cara untuk terlihat. Akhir yang tertinggi adalah
untuk hidup dibalik segala pencapaian, dengan cara apa saja).

Argumentasi kalaupun ada yang mendasari pemikirannya pun dipenuhi
kelemahan. Baudrillard sama sekali menolak struktur dan sistem, membiarkan
pernyataan-pernyataannya serba mengambang dan terpenggal-penggal, serta
lebih mengutamakan spekulasi

http://socialpolitic-article.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-postmodern-menurut-jean.html

Baudrillard tentang beda signifikan antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern, yakni hilangnya hubungan antar manusia yang spontan, timbal balik dan simbolis dalam masyarakat modern. Hal-hal itu menjadi apa yang dulunya dianggap fundamen bagi masyarakat primitif. Bagi Baudrillard sebuah ciri memabukkan masyarakat modern adalah adanya diferensiasi dan logika bahwa semuanya tidak mungkin pernah cukup. Masyarakat yang tidak pernah tahu apa makna kata ikhlas , yang ada cuma kurang terus. Mungkin Baudrillard sepakat sepenuhnya dengan Albert Camus tentang absurditas kehidupan masyarakat modern. Sebuah gambaran masyarakat yang sakit dan selalu mengejar hasrat tak terputus. Liar, mubazir, dan tak pernah mencapai titik puas. Pada titik itulah komunikasi menjadi sebuah sarana penting (melalui media) untuk memediasi terciptanya nilai-nilai absurd tersebut. Baudrillard mengambil sikap tegas untuk skeptis dan pesimis.

http://hanharsa.blogspot.com/2008/12/daya-seduktif-media.html

Suatu kenyataan tak terbantah mengenai eksistensi manusia adalah bahwa keberadaannya dibatasi oleh sekat-sekat spasio-temporal. Manusia selalu berada dalam penentuan ruang dan waktu tertentu. Manusia terkondisikan dalam kategori ruang-waktu dan tidak terlepas dari penentuan ini. Di luar kategori ruang dan waktu, manusia lenyap. Manusia tidak mungkin ada di luar tapal batas ruang dan waktu.
Namun penentuan ini tidak secara pasif dialami oleh manusia. Manusia tidak saja terdeterminir oleh penentuan ruang dan waktu tetapi dapat pula menentukan ruang dan waktu tersebut. Manusia tidak hanya mengalami ruang dan waktu tetapi serentak dapat menciptakan “pengalaman lain” atas ruang dan waktu. Manusia dapat mengambil jarak tertentu terhadap ruang dan waktu sekalipun dalam proses tersebut ia tetap berada dalam kategorisasi ruang dan waktu tertentu. Dalam hal ini manusia dapat menghadirkan ruang dan waktu lain di luar pengalaman aktual ruang dan waktunya saat sekarang.
Menghadirkan ruang dan waktu lain di luar pengalaman aktual ruang dan waktu saat sekarang memungkinkan apa yang dinamakan sejarah.
http://my.opera.com/Nyocor/archive/monthly/?month=200801

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, kami menerima saran,tanggapan dan kritik, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam